Nama Yesus kian dikenal seantero negeri karena begitu banyak mukjizat, pengajaran dan pernyataan-pernyataanNya yang mengejutkan. Pergunjingan terjadi dan umat pun seolah terbelah atas keberadaanNya.
Ada yang memandang Yesus sebagai mesias yang dijanjikan, sementara di sisi lain ada yang meragukan bahkan menolak mentah-mentah untuk menganggap pria Betlehem itu sebagai Kristus sang penyelamat.
Dalam lingkup kaum Farisi dan para ahli Taurat, pendapat pun bukannya homogen. Adalah Nikodemus, salah satu pimpinan yang pernah mendatangi Yesus karena percaya. Ia mengkritik kawan-kawannya yang hendak menangkap Yesus, “Apakah hukum Taurat kita menghukum seseorang, sebelum ia didengar dan sebelum orang mengetahui apa yang telah dibuat-Nya.” (Yohanes 7:51)
Dengan ketus nan tendensius, rekan-rekannya menjawab, “Apakah engkau juga orang Galilea? Selidikilah Kitab Suci dan engkau akan tahu bahwa tidak ada nabi yang datang dari Galilea.” (Yohanes 7:52).
Orang-orang Farisi dan ahli Taurat itu tersudut. Mereka tahu Yesus luar biasa tapi demi ‘menyelamatkan muka’, segala cara dipakai untuk menghakimiNya termasuk menggunakan tempat asalNya, asal-usulNya. Mereka putus asa!
Hal ini membuatku merenung, dua ribu tahun sesudahnya hal-hal seperti ini pun masih sering terjadi.
Pernahkah kamu mendengar ada seorang pemimpin ditolak karena agama dan suku bangsa serta tempat asalnya? Bagiku hal ini adalah tanda bahwa orang-orang itu sudah tak memiliki cara lain untuk menolak selain dengan hal-hal tersebut.
Penilaian terhadap seseorang sebaiknya tidak berdasarkan pada hal-hal yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kemampuan orang tersebut. Bagaimana mungkin seseorang bisa memilih suku bangsa dan dimana ia akan dilahirkan?
Lagipula soal agama, bukankah itu hak pribadi masing-masing dalam memilih dan negara menjamin kemerdekaan penganut-penganutnya? Bukankah selama bisa hidup dan mengedepankan ‘common sense’ maka seharusnya kita bisa menerima siapapun dia, apapun agamanya?
Masalah agama, tempat asal dan suku bangsa belum selesai, perkara asal-muasal keturunan dan keterkaitan dengan, misalnya, partai terlarang seperti PKI pun sering dijadikan kriteria seseorang dianggap layak memimpin atau tidak. Padahal katakanlah PKI itu dulu memang bersalah, katakanlah calon pemimpin itu memang keturunan anggota partai tersebut, adakah jaminan bahwa hal itu akan mempengaruhi cara berpikir dalam memerintahnya?
Sementara itu di sisi lain, ada beberapa mantan narapidana korupsi yang mencoba peruntungan dengan maju dalam Pilkada dan kita diam saja?
Lho tapi kan dalam aturan memang tertulis bahwa hal itu diperbolehkan, Don?
Benar! Tapi aturan pun mengijinkan seseorang untuk memimpin negara apapun agama dan suku bangsanya asalkan ia warga negara, kan? Tapi pernahkah kamu terbayang pelaksaan aturan itu sejujur-jujur dan sebenar-benarnya?
Sydney, 17 Maret 2018
Tinggalkan Balasan